Oleh: Muhammad Qorib
Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan FAI UMSU
Dakwah di era digital seperti sekarang ini tak jarang melewati jalan terjal. Persoalan yang muncul tidak melulu karena objek dakwah yang enggan dan berpaling dari gema Islam, namun juga disebabkan oleh sikap segelintir pegiat dakwah yang lazim berpredikat ustaz, kiyai, syaikh, habib, buya dan sederetan predikat lain yang dianggap sakral. Para nara sumber kebajikan tersebut sejatinya menghembuskan nafas pencerahan. Mereka juga diharapkan dapat meluluhkan kegaduhan psikologis umat. Justru sebaliknya, predikat terhormat yang disandang terkadang ternodai oleh perilaku irasional dan terkesan menafikan kemaslahatan.
Wadah Diskusi
Harus diakui, para pegiat dakwah adalah orang-orang terpilih. Mereka diklaim memiliki pengetahuan yang mumpuni dan sumber pemecahan masalah yang muncul di tengah umat. Seperti ensiklopedi berjalan, para pegiat dakwah mesti dapat menjawab secara literal pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada mereka. Tak hanya itu, kata dan laku mereka ditiru dan digugu, untuk selanjutnya menjadi acuan. Posisi seperti ini tentu sangat strategis. Umat dapat diletakkan dalam sebuah bingkai ke arah mana pendulum dakwah diayunkan.
Media virtual kini bergerak nakal sampai memasuki bilik-bilik pribadi setiap orang. Hal tersebut ternyata tidak menghanguskan posisi para pegiat dakwah itu. Eksistensi mereka semakin kokoh di tengah gempuran gelombang informasi yang sering bernuansa sadis, kejam dan beringas. Dalam konteks ini, kepungan beragam budaya tak jarang meninggalkan persoalan. Hal itu menjadi urusan dan tugas tersendiri bagi para pegiat dakwah. Mereka masuk ke ruang seleksi alam. Siapa yang cakap dan mumpuni dalam menjawab persoalan, maka dialah yang menempati posisi terhormat dalam alur pemeringkatan alamiah tersebut.
Melihat betapa kompleksnya permasalahan yang berhamburan di jalan terjal dakwah itu, sudah sepatutnya para pegiat dakwah mengayunkan langkah segar. Ikhtiar tersebut dimaksudkan agar dakwah bersifat dinamis, produktif, kontekstual, cerdas, mencerahkan, dan tidak egois. Kecil kemungkinan bagi seorang pegiat dakwah menjelma sebagai seorang super man dan super woman. Sosok impian yang dapat menjawab semua persoalan umat. Lebih ironis lagi, fatwa dan pendapat keagamaan yang ditampilkan sering menyeret umat ke panggung kegamangan.
Sangat terasa, ego personal dan hegemoni komunal sering menjiwai tapak dan jejak para pegiat dakwah. Kedua penyakit ruhani itu menjadi parasit yang bersifat melemahkan. Realitas umat yang plural dan lentur dibelah ke dalam dua kategori dan bersifat kaku, yaitu; kami dan mereka. Konsekuensinya, para pegiat dakwah tampil seperti pendekar mabuk, berdakwah namun mempromosikan kebenaran tunggal. Kebenaran diterima jika berasal dari silsilah guru-gurunya. Materi dakwah pun terkebiri, bergulir terbalik; dari keramahan menjadi kemarahan, dari kedamaian menjadi kegaduhan, dari kejernihan nurani menjadi kekeruhan hati.
Para pegiat dakwah juga sering berjalan sendirian, merasa lebih unggul dalam aspek keilmuan, seolah tak butuh mitra dialog dan cenderung abai dengan wadah diskusi. Situasi demikian tanpa disadari sering menggiring mereka tersangkut onak dan duri persoalan bahkan menjadi bagian serius dari persoalan itu sendiri. Padahal diantara variabel penting produktifitas dakwah terletak pada koordinasi, interkoneksi dan kolaborasi. Ketiganya menjadi generator yang menggerakkan kesadaran bahwa dakwah tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Perlu beragam perspektif keilmuan dan kerjasama untuk memotret permasalahan umat sekaligus merumuskan terapi konkrit atas permasalahan tersebut.
Masalah aktual dan serius yang kini tengah terjadi adalah respons atas eksistensi pandemi covid-19. Tak sedikit para pegiat dakwah meyakini bahwa covid-19 adalah produk konspirasi dan wacana yang dibesar-besarkan media. Sebab itu tak perlu risau dan khawatir karena eksistensinya tidak ada. Keyakinan tersebut dipasarkan dan mempengaruhi pola pikir umat. Respons menyimpang ini bukan saja meruntuhkan ikhtiar tak kenal lelah yang telah dibangun berbagai pihak untuk menghambat laju penyebaran covid-19, namun juga memapah umat dari pencerahan menuju kegelapan.
Acuan teologis yang semestinya berproses dari amar ma’ruf nahi munkar berubah ke arah amar munkar nahi ma’ruf. Bukan jalan kemaslahatan yang ditempuh melainkan jalan kemudharatan yang dibentangkan, bahkan bersifat kolektif dan sistemik. Lebih miris lagi, beberapa diantaranya tampil berani dan percaya diri di ruang publik dengan tanpa mengenakan masker, tanpa menjaga jarak, dan seolah hidup dalam suasana normal. Jargon-jorgon populer tapi sungguh menyayat batin dan merusak sistem sosial kerap dilontarkan, seperti; “takut hanya kepada Allah bukan kepada corona”, “corona adalah tentara Allah”. Inilah ekspresi emosi dalam figura arogansi.
Selain itu, semangat literasi bagi para pegiat dakwah menjadi nutrisi harian yang wajib dikonsumsi. Tanpa itu, materi dakwah tidak akan menjadi mercusuar pencerahan. Materi dakwah sedapat mungkin beranjak dari satu siklus ke siklus lain, bukan dari itu ke itu saja seperti kaset yang diputar secara berulang, kecuali untuk tema-tema tertentu yang bersifat penguatan. Adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi, para pegiat dakwah membekali dirinya dengan bahan bacaan yang cukup dan motivasi yang senantiasa berkobar untuk merawat konsistensi semangat itu.
Bahan bacaan pegiat dakwah mesti bersifat otoritatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, bukan berupa serpihan pendapat liar yang berserak di media sosial, apalagi tanpa sumber dan penulis yang jelas. Kearifan dan kecerdasan dalam memilih dan memilah informasi menjadi aktifitas yang wajib dilakukan. Jangan hanya sekedar men-share informasi tanpa dikaji dengan baik dan dilihat dampak baik dan buruknya untuk umat. Materi dakwah juga tidak boleh disusun secara amatir dan serabutan, asal ingat dan asal disampaikan. Dukungan media dakwah juga menjadi nilai tambah bagi proses dakwah tersebut.
Perlu pula ditanamkan keyakinan bahwa dunia dakwah menuntut tanggung jawab moral demi sebuah perubahan dan pada akhirnya akan dilaporkan di hadapan Allah. Ini yang disebut sebagai ‘amalan sholihan, yaitu sebuah aktifitas profesional, dilahirkan dari integrasi niat yang tulus, kerja yang cerdas dan bermanfaat untuk orang lain. ‘Amalan sholihan juga diwujudkan melalui kepekaan dalam mendengar masukan orang lain dan senantiasa terbuka dengan berbagai kritik dan komentar. Keterbukaan diri pada akhirnya akan menambah energi baru, diwujudkan dalam dialog, diskusi, sharing informasi tentang fluktuasi proses pelaksanaan dakwah itu sendiri.
Agen Kebaikan
Warna diatas kanvas dakwah amat ditentukan oleh para pegiat dakwah. Mereka merupakan variabel paling menentukan keberhasilan dan kegagalan sebuah proses dakwah. Mencermati persoalan umat yang begitu kompleks, para pegiat dakwah dituntut untuk menjadi uswah hasanah, yaitu sosok-sosok yang ucapannya didengar dan perilakunya diteladani. Selain hal-hal tersebut, para pegiat dakwah tetap memiliki spirit literasi sebagai amunisi dan modal dasar insani. Spirit literasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada proses kebangkitan umat. Langkah-langkah ini mesti dilalui untuk membawa umat dari kegelapan menuju pencerahan dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar. Semoga bermanfaat.