MU’AZIN DI LORONG SEPI
Oleh Muhammad Qorib
(Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan FAI UMSU)
Corona Virus Desease (Covid-19) yang menyeruak ke permukaan sejak Desember 2019 telah memporak-porandakan saraf-saraf dunia. Hampir tak ada negara yang tak terjamah virus mematikan tersebut.
Daya upaya dikerahkan dan jutaan doa-doa dipanjatkan untuk memutus mata rantai penyebarannya. Sejauh ini, belum ada tindakan paling efektif untuk menghentikan virus itu. Para pemuka agama nampaknya juga belum berhasil bernegosiasi kepada Allah agar menarik kembali “pasukan” misterius-Nya.
Wajah Dunia
Wajah dunia seolah bermuram durja dengan rona pucat pasi. Nafasnya tersenggal sambil mengayunkan langkah gontai. Para pemimpin dunia yang menganggap diri mereka raja di raja kini mulai kehilangan akal. Meskipun beberapa dari mereka berpikir rasional dan waras dalam berucap, namun tak sedikit yang menyalahkan keadaan.
Melalui dinas rahasia negara masing-masing, mereka mempromosikan kecurigaan kepada negara lain. Berita hitam itu ditebarkan di tengah ribuan rakyat mereka yang kehilangan nyawa dan jutaan yang semakin tidak peduli dengan keselamatan hidupnya.
Para ilmuan tengah mengerahkan daya dan upaya untuk menemukan vaksin yang sesuai dengan kapasitas tubuh sebuah bangsa. Tak ada berita yang lebih membahagiakan saat ini selain ditemukannya “sumber keselamatan” itu. Selain bekerja secara profesional, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan sumbangan terbaik bagi kemanusiaan.
Mereka mengasingkan diri di laboratorium setiap saat. Bagi mereka, laboratorium seperti sebuah pesanggrahan keramat.
Aktifitas mereka berpindah dari satu riset ke riset lain. Otak mereka diperas, peluh mereka terus bercucuran. Di pundak mereka terhampar harapan untuk kesehatan dunia.
Khusus di Indonesia, negeri tercinta yang dibangun dengan bambu runcing dan jutaan doa, kehadiran covid-19 selain sebagai wabah, bagi pihak tertentu menjadi peluang untuk “mengais rezeki”. Bantuan sosial untuk mereka yang terdampak sering diselewengkan dan tak tepat sasaran.
Di pertengahan jalan, bantuan tersebut dibajak oleh manusia-manusia yang lisannya seperti malaikat namun tindakannya sebagai pengkhianat. Tawa senang mereka membahana di tengah jutaan korban yang kehilangan pekerjaan. Belum lagi terendusnya skandal perselingkuhan antara isu covid-19 dan politik jelang pilkada.
Covid-19 semakin menunjukkan taji tajamnya dengan dukungan deretan media nakal. Media tersebut mengambil posisi sebagai penebar teror. Bukannya meng-edukasi masyarakat, malah sebaliknya, media tersebut membuat masyarakat semakin bingung dan ketakutan.
Berita yang dimunculkan jauh dari etika welas asih. Komersialisasi dan dramatisasi keadaan menjadi alat paling ampuh untuk mengeruk keuntungan.
Inilah model media sekuler yang tercabut dari spirit keimanan. Media seperti ini sangat cerdas membangun narasi tentang jasad beku di kesunyian dan isak tangis dari handai taulan dan keluarga korban.
Gelombang masif covid-19 menerjang setiap pelosok negeri. Jumlah korban yang terpapar semakin banyak, bahkan angkanya melaju kencang. Ruang-ruang isolasi rumah sakit tak lagi dapat memberikan daya tampung.
Selain itu, tenaga kesehatan terus berguguran menjadi kesuma bangsa.
Padahal mereka benteng terakhir sebagai “perawat” nyawa. Kepergian mereka dalam sepi tak jarang diikuti fitnah keji, sumpah serapah dan caci maki dari mulut-mulut yang menganggap dirinya suci.
Melahirkan otak-otak cerdas seperti tenaga kesehatan memakan ongkos sosial yang tidak kecil. Waktu yang dibutuhkan juga tidak sebentar.
Boleh jadi negeri ini akan kehilangan satu generasi terbaiknya. Ikhtiar yang dilakukan untuk melahirkan generasi seperti mereka di masa depan bukanlah perkara mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
Belum lagi keluarga mereka harus menanggung beban karena hukuman sosial. Memang ada juga oknum tenaga kesehatan dan institusinya yang liar. Namun tidak bisa digeneralisir, seolah tenaga kesehatan dan institusinya rata-rata bertindak amoral seperti itu.
Selain pemangku amanat, seruan untuk mengurangi percepatan covid-19 dapat dilakukan oleh siapa pun. Kesadaran kolektif ini mesti ditumbuhkan demi keberlangsungan hidup bersama. Jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan, menjadi rukun kehidupan untuk saat ini.
Iklan dan seruan untuk mengerjakan rukun itu tertuang di berbagai baleho, leaf let, dan dipromosikan di berbagai media cetak dan elektronika. Tak terkecuali terpampang garang di berbagai ruang terbuka.
Respons masyarakat terhadap rukun kehidupan tak sama, lebih banyak melahirkan rasa prihatin ketimbang kebahagiaan batin. Meskipun diintai kematian setiap saat dan ditawarkan cara keluar dari ancaman kematian itu, masyarakat semakin tidak peduli.
Tidak hanya di pasar, di kafe, di berbagai pertemuan, di rumah ibadah sekalipun, rukun kehidupan tersebut sering diabaikan. Masyarakat semakin tak acuh dan seolah hidup di masa sebelum pandemi terjadi.
Sejauh vaksin belum ditemukan dan diproduksi secara massal, maka mematuhi protokol kesehatan adalah cara yang paling rasional untuk menyelamatkan kehidupan.
Sekarang sudah sangat terasa, meskipun herd immunity dinilai sangat kejam dan tidak manusiawi, nyatanya masyarakat sendiri yang menghendaki agar itu terjadi.
Hidup sekarang seperti di rimba raya, siapa yang kuat dia yang menang. Siapa yang memiliki imunitas baik maka dia yang akan bertahan hidup. Sementara yang imunitasnya lemah dan memiliki riwayat penyakit penyerta, maka mematuhi protokol kesehatan menjadi usaha penyambung nyawa.
Masyarakat merasa kecewa. Hal itu disebabkan karena pengelola negara memutuskan kebijakan secara berubah-ubah.
Lihat saja misalnya, di saat jaga jarak dipromosikan kemana-mana, tempat hiburan malah dibuka. Di saat mata rantai covid-19 coba diputuskan, justru tenaga kerja asing dari tempat virus itu berasal malah menembus imigrasi.
Sulit mencari negarawan yang bisa diteladani. Tingkat kesadaran masyarakat untuk saling menyelamatkan juga masih rendah. Masalah yang terjadi sudah demikian rumit.
Ungkapan dari Kepala Negara “Berdamai dengan covid-19” beberapa saat lalu turut melahirkan polemik. Kalimat sederhana itu mengandung berbagai tafsir. Tentu yang paling dominan adalah bahwa pertarungan melawan covid-19 dianggap telah berakhir.
Mereka bebas dan dapat beraktifitas sebagaimana biasa. Meskipun maksud Presiden Jokowi adalah agar setiap orang hidup dalam pola dan kebiasaan baru di masa pandemi.
Ormas Islam seperti Muhammadiyah justru tetap konsisten dengan terminologi “melawan corona”. Itulah sebabnya secara terukur dan terstruktur Muhammadiyah mengajak seluruh warganya berbakti untuk negeri, bekerja tulus tanpa pamrih dan tak memuja media.
Warga Persyarikatan terus konsisten menjadi mu’azin. Ribuan relawannya turun di garda terdepan, ratusan milyar telah digelontorkan. Bahkan Muhammadiyah menyiapkan fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh negeri.
Tak Pernah Berhenti
Teriakan para mu’azin untuk mematuhi protokol kesehatan sering bergema di lorong sepi. Gaungnya kalah lantang dibanding mereka yang bersikap acuh tak acuh dengan keadaan. Meskipun demikian, seruan menuju kemaslahatan tidak boleh berhenti apalagi mundur karena lapisan-lapisan kekecewaan.
Akal mesti senantiasa cerdas dan nurani mesti senantiasa tulus. Sebab itulah, setiap orang dapat mengambil peran sebagai mu’azin itu. Tak mengapa, jikapun seruan itu dicibir orang sambil berlalu. Allah Maha Tahu diantara hamba-hamba-Nya yang mencipta maslahat dan siapa yang mencipta mafsadat. Semoga bermanfaat.